Masjid Islamc Centre Kampar |
Dalam pengalaman manusia sepanjang sejarah, memang yang ada di ”atas”
sana tak bisa diketahui. Manusia membaca adanya Tuhan, sebagaimana ia
menebak orakel: menafsirkan. Ia tak bisa lain dan hanya berpegang pada
interpretasi sebuah presentasi.
Dari sinilah kegalauan Drs Burhanuddin
Husin MM, Bupati Kampar ini, berangkat. Tapi tak semua dilema itu
menghilang. Dalam pikirannya, berkecamuk kontradiksi yang tak
terhindarkan. Terbang jauh dari asal muasal nama Kampar, rantau antah
berantah—mungkin dalam hal-hal ini Burhanuddin mendapatkan, secara
intens, apa yang menjadi dasar sebuah nama itu.
“Sebenarnya Melayu-Kampar, sudah ada semenjak dulu. Masa Kerajaan Sriwijaya dengan pembuktian situs nasional Candi Muara Takus sebagai situs tertua Melayu di dunia. Penelitian ini perlu dikaji terus, selain pentingnya keterlibatan pranata adat dan agama masih berperan dalam masyarakat pedesaan di Melayu,” terangnya.
Di suatu masa nanti, ketika menanti jawab usai, jadi sesuatu yang benar, karena ketidakadilan begitu menyesakkan napas, imperatif moral itu cenderung diharapkan jadi dasarnya. Adat dan budaya Kampar selalu ditujukan dari provinsi tetangga.
Tapi sejarah berangsur-angsur membuka perspektif lain. Begitulah pikirannnya. Mungkin sebab itu sang Bupati begitu peduli dan bisa mengatakan bahwa dalam percaturan sejarah, ada dua kemungkinan: mengingatkan atau melupakan sejarah?
Ssebuah pelaksanaan “etika tanggung jawab” sebagai sebuah realisasi “etika hati nurani”, disampaikan Burhanuddin. Ia tahu, ketika Presiden RI Pertama, Soekarno berucap: jangan pernah lupakan sejarah.
Yang pertama menunjukkan kesediaan menerima batas. Yang kedua menunjukkan kesediaan mengabdikan diri pada tujuan yang absolut. Maka, Burhanuddin sendiri tak lepas dari kesadaran tentang itu. Seperti para penganjur modernisasi di Indonesia, baik yang Marxis atau bukan, baik Tan Malaka dan PKI maupun Takdir Alisjahbana.
Mungkin jika ia menghendaki, tentu saja membayangkan sebuah masyarakat yang didasari kemufakatan untuk saling menghormati hak dan sejarah Kampar. Sebuah masyarakat yang plural seperti diperlakukan sebagai sesuatu yang lebih majemuk ketimbang sekadar hasil sebuah rumusan.
Pada temu ramah dengan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Riau, di Bangkinang, Burhanuddin kembali mengingatkan perlunya sebuah kajian khusus, mencari identitas Kabupaten Kampar. Selain menunjukkan karakter kabupaten, juga perlu mencari benang merah dalam sejarah Kabupaten Kampar ini.
Dalam paparannya Burhanuddin menyampaikan komitmen daerah untuk mendukung dan mengembangkan kawasan pariwisata sejarah ini. Maka, sebagai perwujudan dan penjabaran dari komitmen pemerintah tersebut, perlu didukung semua stakeholders.
“Untuk memperlancar pembangunan terutama pariwisata sejarah Kampar, se¬baiknya semua pem¬baharuan yang diperke¬nalkan dicari rujukannya pa¬da pranata adat dan agama, dengan melibatkan dan partisipasi aktif dari ma¬syarakat,” inginnya.
Sebagai Kabupaten yang memiliki potensi pariwisata sejarah tersebut, Kabupaten Kampar merasa tertantang untuk dapat mensosialisasikan kembali sejarah Kabupaten Kampar, baik dari segi budaya, pendidikan dan latar belakang sejarah. Untuk itu, pemerintah akan melibatkan dunia pers untuk ikut serta membantu dalam penulisan tentang sejarah Kampar ini, agar tidak terjadi polemik yang berkepanjangan.
“Kami juga mengharapkan peran serta pers dalam mensosialisasikan keberadaan sejarah Kampar ini bagi kepentingan masyarakat Kampar khususnya, dan Riau umumnya,” harap Burhanuddin.
Sementara, Fadlah Sulaiman Ketua Riau Tourism Board kepada Metro Riau, mengakui adanya potensi pariwisata sejarah Candi Muara Takus di Kabupaten Kampar. Katanya, selain Candi memiliki nilai sejarah yang tinggi juga perlu penanganan serius bagi seluruh pihak, untuk mencapai peningkatan dan pengembangan potensi pariwisata ke depan.
“Pariwisata sejarah Candi Muara Takus di Kabupaten Kampar ini memiliki nilai sejarah yang tinggi. Untuk itu agar semua pihak dapat duduk bersama menyamakan visi dan misi dalam upaya peningkatan dan pengembangan situs cagar budaya sejarah ini,” harapnya.
Untuk mencapai agar suatu wilayah menjadi ikon pariwisata, tentunya harus memiliki nilai tersendiri. Salah satunya adalah wilayah tersebut harus memiliki daya ungkit, tarik dan lirik.
“Potensi pariwisata itu harus ada daya ungkit, tarik dan lirik. Nah, jika pariwisata sejarah di Kampar ada ketiga itu, ini bisa dijadikan ikon pariwisata Kampar ke depan,” terang Fadlah.
Maka, Burhanuddin punya impian, kemarahan yang benar, tapi ia ternyata juga punya batas–seperti halnya para manajer dan majikan. Dan ia tak sendirian, kini dan di kemudian hari ia mencoba merangkul seluruh ninik mamak, tokoh agama dan masyarakat, untuk duduk berimpit lutut makan sehidangan. Siapa tahu di sana ada masukan yang membangun dan kesimpulan akhir dari sebuah nama Kabupaten Kampar.*
“Sebenarnya Melayu-Kampar, sudah ada semenjak dulu. Masa Kerajaan Sriwijaya dengan pembuktian situs nasional Candi Muara Takus sebagai situs tertua Melayu di dunia. Penelitian ini perlu dikaji terus, selain pentingnya keterlibatan pranata adat dan agama masih berperan dalam masyarakat pedesaan di Melayu,” terangnya.
Di suatu masa nanti, ketika menanti jawab usai, jadi sesuatu yang benar, karena ketidakadilan begitu menyesakkan napas, imperatif moral itu cenderung diharapkan jadi dasarnya. Adat dan budaya Kampar selalu ditujukan dari provinsi tetangga.
Tapi sejarah berangsur-angsur membuka perspektif lain. Begitulah pikirannnya. Mungkin sebab itu sang Bupati begitu peduli dan bisa mengatakan bahwa dalam percaturan sejarah, ada dua kemungkinan: mengingatkan atau melupakan sejarah?
Ssebuah pelaksanaan “etika tanggung jawab” sebagai sebuah realisasi “etika hati nurani”, disampaikan Burhanuddin. Ia tahu, ketika Presiden RI Pertama, Soekarno berucap: jangan pernah lupakan sejarah.
Yang pertama menunjukkan kesediaan menerima batas. Yang kedua menunjukkan kesediaan mengabdikan diri pada tujuan yang absolut. Maka, Burhanuddin sendiri tak lepas dari kesadaran tentang itu. Seperti para penganjur modernisasi di Indonesia, baik yang Marxis atau bukan, baik Tan Malaka dan PKI maupun Takdir Alisjahbana.
Mungkin jika ia menghendaki, tentu saja membayangkan sebuah masyarakat yang didasari kemufakatan untuk saling menghormati hak dan sejarah Kampar. Sebuah masyarakat yang plural seperti diperlakukan sebagai sesuatu yang lebih majemuk ketimbang sekadar hasil sebuah rumusan.
Pada temu ramah dengan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Riau, di Bangkinang, Burhanuddin kembali mengingatkan perlunya sebuah kajian khusus, mencari identitas Kabupaten Kampar. Selain menunjukkan karakter kabupaten, juga perlu mencari benang merah dalam sejarah Kabupaten Kampar ini.
Dalam paparannya Burhanuddin menyampaikan komitmen daerah untuk mendukung dan mengembangkan kawasan pariwisata sejarah ini. Maka, sebagai perwujudan dan penjabaran dari komitmen pemerintah tersebut, perlu didukung semua stakeholders.
“Untuk memperlancar pembangunan terutama pariwisata sejarah Kampar, se¬baiknya semua pem¬baharuan yang diperke¬nalkan dicari rujukannya pa¬da pranata adat dan agama, dengan melibatkan dan partisipasi aktif dari ma¬syarakat,” inginnya.
Sebagai Kabupaten yang memiliki potensi pariwisata sejarah tersebut, Kabupaten Kampar merasa tertantang untuk dapat mensosialisasikan kembali sejarah Kabupaten Kampar, baik dari segi budaya, pendidikan dan latar belakang sejarah. Untuk itu, pemerintah akan melibatkan dunia pers untuk ikut serta membantu dalam penulisan tentang sejarah Kampar ini, agar tidak terjadi polemik yang berkepanjangan.
“Kami juga mengharapkan peran serta pers dalam mensosialisasikan keberadaan sejarah Kampar ini bagi kepentingan masyarakat Kampar khususnya, dan Riau umumnya,” harap Burhanuddin.
Sementara, Fadlah Sulaiman Ketua Riau Tourism Board kepada Metro Riau, mengakui adanya potensi pariwisata sejarah Candi Muara Takus di Kabupaten Kampar. Katanya, selain Candi memiliki nilai sejarah yang tinggi juga perlu penanganan serius bagi seluruh pihak, untuk mencapai peningkatan dan pengembangan potensi pariwisata ke depan.
“Pariwisata sejarah Candi Muara Takus di Kabupaten Kampar ini memiliki nilai sejarah yang tinggi. Untuk itu agar semua pihak dapat duduk bersama menyamakan visi dan misi dalam upaya peningkatan dan pengembangan situs cagar budaya sejarah ini,” harapnya.
Untuk mencapai agar suatu wilayah menjadi ikon pariwisata, tentunya harus memiliki nilai tersendiri. Salah satunya adalah wilayah tersebut harus memiliki daya ungkit, tarik dan lirik.
“Potensi pariwisata itu harus ada daya ungkit, tarik dan lirik. Nah, jika pariwisata sejarah di Kampar ada ketiga itu, ini bisa dijadikan ikon pariwisata Kampar ke depan,” terang Fadlah.
Maka, Burhanuddin punya impian, kemarahan yang benar, tapi ia ternyata juga punya batas–seperti halnya para manajer dan majikan. Dan ia tak sendirian, kini dan di kemudian hari ia mencoba merangkul seluruh ninik mamak, tokoh agama dan masyarakat, untuk duduk berimpit lutut makan sehidangan. Siapa tahu di sana ada masukan yang membangun dan kesimpulan akhir dari sebuah nama Kabupaten Kampar.*
Sumber Metro Riau
http://youtu.be/7CHpNrTqGGo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Thank You