WACANA KEILMUWAN
SUMBER-SUMBER PEMBENTUKAN ETIKA: UKURAN BAIK DAN BURUK
Oleh: ARI SATRIA
“Siapa saja yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah akan memberinya jalan keluar dalam setiap kesusahan, dan Allah akan memberinya rezeki dari arah yang tidak ia perkirakan”
1. Pendahuluan
Baik dan buruk merupakan dua istilah yang banyak digunakan untuk menentukan suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang. Banyak orang berselisih pendapat untuk menilai suatu perbuatan, ada yang melihatnya baik dan ada yang melihatnya buruk. Dipandang baik oleh suatu masyarakat atau bangsa, dipandang buruk oleh yang lain. Dipandang baik pada waktu ini, dinilai buruk pada waktu lain. Ukuran baik dan buruk tidak dapat dipisahkan oleh etika. Karena etika menurut ahmad Amin adalah:
“Ilmu pengetahuan yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia. Menyatakan tujuan yang harus dicapai oleh manusia dalam perbuatan mereka, dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang seharusnya diperbuat oleh manusia”
Etika menyelidiki segala perbuatan manusia kemudian menetapkan hukum baik atau buruk. Etika tidak dapat menjadikan manusia baik, tetapi dapat membuka matanya untuk melihat baik dan buruk. Maka etika tidak berguna bagi kita jika kita tidak mempunyai kehendak untuk menjalankan perintah-perintah Nya dan menjauhi larangan-larangan Nya. Di dalam beberapa buah kamus dan ensiklopedi diperoleh pengertian baik dan buruk. Baik, dalam bahasa arab “khair,hasan” , dan dalam bahasa inggris “good” . Menurut The Advanced Learner’s Dictionary of Current English, baik adalah sesuatu yang mempunyai nilai kebenaran atau nilai yang diharapakan, yang memberikan nilai kepuasan. Sedangkan menurut Ensiklopedi Indonesia, sesuatu dikatakan baik bila ia mendatangkan rahmat, memberikan perasaan senang atau bahagia. Jadi, sesuatu yang dikatakan baik bila ia dihargai secara positif.
Sedangkan pengertian baik menurut Ethik adalah sesuatu yang berharga untuk sesuatu tujuan. Sebaliknya yang tidak berharga, tidak berguna untuk tujuan, apabila yang merugikan, atau yang menyebabkan tidak tercapainya tujuan adalah “buruk”. Lebih dalam Rahmat Djatnika menyatakan:
“Tujuan dari masing-masing sesuatu, walaupun berbeda-beda, semuanya akan bermuara kepada satu tujuan yang dinamakan baik, semuanya mengharapkan mendapatkan yang baik dan bahagia, tujuan yang akhir yang sama ini dalam ilmu Ethik “Kebaikan Tertinggi”, yang dengan istilah lainnya disebut Summum Bonum atau bahasa arabnya Al-Khair al-Kully. Kebaikan tertinggi ini bisa juga disebut kebahagian yang universal atau Universal Happiness.
Ia juga mengatakan bahwa kebaikan itu terletak pada dua hal:
a. Pada adanya kemauan, will, iradah atau niat
b. Pada praktek, action atau amaliah
Sedangkan Menurut Plato, ahli filsafat Yunani kuno, yang baik itu ialah yang ada ditengah-tengah antara dua ujung, antara ujung awal dan ujung akhir. Sebelum ujung awal adalah kurang dan sesudah ujung akhir adalah terlalu. Firman Allah:
“Orang-orang yang membelanjakan hartanya tidak melampaui batas (Royal-boros) dan tidak pula kikir, tetapi adalah tengah-tengah antara keduanya”.
Menurut ajaran Islam penentuan baik dan buruk harus didasarkan pada petunjuk al-Qur’an dan al-hadis. Kebaikan dalam pandangan islam meliputi kebaikan yang bermanfaat bagi fisik, akal, rohani, jiwa, kesejahteraan di dunia dan kesejahteraan di akhirat serta akhlak yang mulia. Untuk menghasilkan kebaikan yang demikian itu Islam memberikan tolah ukur yang jelas, yaitu selama perbuatan yang dilakukan itu ditujukan untuk mendapatkan keridhaan Allah yang dalam pelaksanaannya dilakukan dengan ihklas. Perbuatan akhlak dalam Islam baru dikatakan baik apabila perbuatan yang dilakukan dengan sebenarnya dan dengan kehendak sendiri itu dilakukan atas dasar ikhlas karena Allah. Untuk itu peranan niat yang ikhlas sangat penting. Rasulullah SAW bersabda:
“Segala perbuatan selalu mempunyai niat. Dan perbuatan tersebut dinilai sesuai dengan niatnya”. (H.R. Bukhari-Muslim).
Penentuan baik atau buruk dalam Islam tidak semata-mata ditentukan berdasarkan amal perbuatan yang nyata saja, tetapi lebih dari itu adalah niatnya. Islam juga memperhatikan criteria lainnya yaitu dari segi cara melakukan perbuatan itu. Berikut karakteristik Etika Islam:
a. Etika islam mengajarkan dan menuntut manusia pada tingkah laku yang baik dan menjauhkan dar tingkah laku yang buruk.
b. Etika islam menetapkan bahwa yang menjadi sumber moral, ukuran baik buruknya perbuatun, didasarkan pada ajaran Allah SWT.
c. Etika islam beersikap universal dan komprehensif, dapat diterima dan dijadikan pedoman oleh seluruh umat manusia.
d. Etika islam mengatur dan mengarahkan fitrahmanusia ke jenjang akhlak yangluhur dan meluruskan perbuatanmanusia.
Sedangkan buruk, dalam bahasa arab “syarr” , dalam bahasa inggris “bad ”. Menurut New Twentieth Century Dictionary of English Language, buruk adalah tidak baik, tidak seperti yang seharusnya, tak sempurna dalam kualitas, di bawah standard, kurang dalam nilai, dan tak mencukupi. Sedangkan menurut Ensiklopedia Indonesia, buruk adalah yang tercela, lawan baik, pantas, bagus dan sebagainya. Perbuatan buruk berarti perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma masyarakat yang berlaku.
Jadi dari beberapa definisi diatas, dapat dikatakan bahwa sesuatu yang dikatakan baik apabila ia memberikan kesenangan, kepuasan, kenikmatan, sesuai dengan yang diharapkan. Atau ndengan kata lain sesuatu yang dinilai positif oleh orang yang menginginkannya. Definisi kebaikan tersebut terkesan anthropocentris. Sedang buruk apa yang dinilai sebaliknya. Disini nyata sekali betapa relatifnya pengertian itu, karena tergantung pada penghargaan manusia masing-masing. Jadi nilai baik atau buruk menurut pengertian di atas bersifat subyektif, karena tergantung pada individu yang menilainya.
Sejalan dengan perkembangan pemikiran manusia, berkembang pula patokan yang digunakan orang dalam menentukan baik dan buruk. Keadaan ini menurut Poedjawijatna berhubungan erat dengan pandangan filsafat tentang manusia (antropologia metafisika) dan ini tergantung pula dari metafisika pada umumnya. Poedjawijatna lebih lanjut menyebutkan sejumlah pandangan filsafat yang digunakan dalam menilai baik dan buruk, yaitu : Hedonisme , utilitarianisme , vitalisme , sosialisme, religiousme dan humanisme.
Sementara itu Asmaran As menyebutkannya sebanyak empat aliran filsafat, yaitu: adat kebiasaan, kebahagiaan (Hedonism), yang terdiri dari Kebahagian Diri (Eguistic Hedonism) dan Kebahagiaan bersama (Universalistic Hedonism) , intuisi (Intuition), dan evolusi (Evolution) . Pembagian yang dikemukakan Asmaran As ini tampak sejalan dengan pendapat Ahmad Amin yang membagi aliran filsafat yang mempengaruhi penentuan baik dan buruk itu menjadi empat, yaitu: adat-istiadat, hedonisme, utilitarianisme, dan evolusi. Sedang Abuddin Nata menyimpulkan menjadi: aliran adat-istiadat (sosialisme) , hedonisme, intuisisme (humanisme), utilitarianisme, vitalisme, religiousme, dan evolusisme. Beberapa pendapat tersebut tampak saling melengkapi sehingga dapat disimpulakan bahwa yang mempengaruhi dalam penentuan baik dan buruk adalah: insting (Naluri), hati nurani (Suara batin), akal (Pikiran Sehat), lingkungan dan adat-istiadat, dan pendidikan.
2. Insting (Naluri)
Tiap-tiap perbuatan yang berdasarkan kehendak disebut “kelakuan”. Kelakuan manusia mempunyai dasar-dasar yang timbul dari jiwa seperti insting dan adat kebiasan. Paca indera tidak dapat melihat pada dasar-dasar jiwa ini, akan tetapi dapat melihat pada bekas-bekasnya, yakni kelakuan. Maka tiap-tiap kelakuan pasti timbul dari sumber kejiwaan.
Insting dalam bahasa inggris adalah “Instinct” , sedang dalam bahasa arab adalah “Gharizah”. Menurut James, “Instinct ialah suatu sifat yang dapat menimbulkan perbuatan yang menyampaikan pada sebuah tujuan dengan berpikir terlebih dahulu kearah tujuan itu, dan tanpa didahului latihan dari perbuatan itu,”. Sedangkan menurut Asmaran, insting atau intuisi merupakan kekuatan yang dapat mengenal sesuatu yang baik atau buruk dengan sekilas pandang tanpa melihat buah dan akibatnya. Paham ini berpendapat bahwa tiap manusia itu mempunyai kakuatan batin sebagai suatu instrument yang dapat membedakan baik dan buruk suatu perbuatan dengan sekilas pandang. Kekuatan ini dapat berbeda antara seorang dengan lainnya karena perbedaan masa, akan tetapi tetap berakar dalam tubuh tiap individu.
Pendapat lain menyimpulkan bahwa insting itu artinya kebiasaan atau tendensi perilaku terhadap keadaan tertentu. Kebiasaan ini bersifat diwariskan dari generasi ke generasi, tidak dipelajari, dan tertentu/pasti/tidak berubah-ubah. Secara umum, untuk bisa dikategorikan sebagai tindakan instingtual, maka tindakan tersebut antara lain harus: Otomatis, Irresistible, Dipicu oleh suatu peristiwa di lingkungan, Tidak bisa dimodifikasi, dan tidak membutuhkan proses belajar.
Plato adalah seorang yang berpendirian intuisi. Sainther yang mengikuti pendapat Plato berkata: “Sungguh salah besar sekali bahwa tujuan hidup itu untuk mencari kenikmatan karena hal ini dapat melahirkan pandangan yang buruk dan tingkahlaku jahat dalam mencapai kenikmatan itu”. Menurut paham ini bahwa kenikmatan bukan tujuan hidup manusia dan ia bukan selalu baik, akan tetapi tujuannya ialah mencari keutamaan. Mereka menghendaki agar manusia itu jangan sampai mengikuti syahwatnya, tetapi hendaknya melatih dirinya sanggup menderita, hidup bijaksana dan mulia di lingkungannya, mempergunakan segala apa yang ada di sekelilingnya dengan sebaik-baiknya, dan menggambarkan manusia di dalam dunia ini sebagai pelaku-pelaku diatas panggung sandiwara.
Menurut Ahmad Amin, sifat-sifat instinct adalah:
a. Kekuatan instinct ini berbeda menurut perbedaan orang dan bangsanya. Instinct yang bermacam-macam ini ialah sebab timbulnya perseisihan diantara manusia
b. Saat tampaknya instinct yang bermacam-macam ini, tidak terbatas dan tidak teratur dalam manusia, sebagaimana teraturnya pada binatang
c. Banyak terjadi pertentangan antara instinct-instinct, sehingga menimbulkan kegoncangan dan keragu-raguan dalam kelakuan manusia
d. Instinct-instinct itu kelihatan dalam bentuk pendorong untuk berbuat
e. Instinct itu adalah asa bagi perbuatan manusia
Manusia itu berbuat dari insting dan akalnya secara bersamaan, dan tidak terpisah antara satu dengan lainnya. Maka insting itu menentukan tujuan yang dikendaki sedang akal itu mewujudkan cara untuk menghasilkan tujuan tersebut. Beliau juga memaparkan insting-insting yang penting itu sebagai berikut:
a. Instinct menjaga diri pribadi
Instinct ini merupakan usaha-usaha untuk menjaga diri sendiri agar tetap hidup. Instinct ini memenuhi permukaan bumi kedalam beberapa juta tubuh yang tidak terhitung dari tubuh-tubuh yang hidup. Tubuh-tubuh tersebut hidup karena akan hidup menurut instinctnya.
b. Instinct menjaga jenis
Instinct ini yang paling kuat dan yang paling banyak ditemukan dalam kehidupan. Seperti belas kasih orangtua, teman, dan kekasih. Tidak sedikit kedua orangtua meninggalkan kesenangannya untuk kesenangan anak-anaknya, bahkan terkadang seorang ibu mengorbankan dirinya untuk kepentingan anaknya.
c. Instinct takut
Instinct ini berakar pada manusia, mengikutinya mulai dari masa kanak-kanak hingga masuk keliang kubur. Manusia selalu menjadi hamba yang takut hinnga akhir hidupnya. Instinct takut ini adalah factor yang sebesar-besarnya bagi pendidikan.
Terdapat juga instinct yang lain, seperti instinct memiliki, instinct ingin mengetahui, dan instinct suka bergaul. Segala instinct-instinct ini adalah sumber yang samar bagi perbuatan manusia yang nampak.
Insting itu dapat tetap atau tumbuh karena pendidikan, sebagaimana ia dapat lemah bahkan lenap karena dilengahkan. Insting itu tidak selalu tetap, yang berarti tidak dapat lenyap atau lemah sebab tidak sedikit persediaan sifat tertentu yang dibawa (waris) oleh manusialalu lenyap karena belum sempurna di dalam waktunya. Insting adalah sifat jiwa yang pertama yang membentuk akhlak, akan tetapi suatu sifat yang masih primitive, yang tidak dapat dilengahkan dan dibiarkan begitu saja bahkan wajib dididik dan diasuh. Cara mendidik dan mengasuh insting itu, ialah kadang-kadang dengan ditolak dan kadang-kadang diterima.
3. Hati Nurani (Suara Batin)
Manusia merasa bahwa didalam jiwanya ada suatu kekuatan yang memperingatkan perbuatan buruk dan usaha mencegah dari perbuatan itu. Kekuatan memerintah dan melarang ini disebut “Suara Hati“yang dalam bahasa inggrisnya adalah “Conscience” Kekuatan itu mendahului perbuatan, mengiringinya dan menyusulnya.
Menurut Abdullah Gymnastiar (Aa Gym):
“ ‘Qolbu’ adalah bagian terdalam di dalam hati yang merupakan alat yang sangat penting yang selalu dirahmati Allah. Sedangkan hati adalah tempat sebuah niat atau tujuan, yang menentukan nilai dari perbuatan seseorang: berguna atau menghabiskan, pintar atau pemarah. Niat itu kemudian akan diproses oleh otak kita yang kemudian dilakukan secara efektif oleh tubuh kita dalam bentuk perbuatan”.
Imam Ghazali juga mengatakan “Tubuh manusia disimbolkan sebagai sebuah kerajaan dimana hati adalah rajanya. Tentu, untuk menghadapi fenomena kehidupan dengan tingkah laku dan sifat yang paling baik, hati harus di atur dengan baik. Rosulullah bersabda:
Artinya: “... Dan ketahuilah bahwasannya di dalam tubuh manusia itu ada segumpal daging yang apabila ia baik, akan baiklah seluruh tubuh itu, tetapi bila ia rusak, maka akan rusak pula tubuh itu seluruhnya. Segumpal daging itu adalah ‘hati’”
Dalam hadist lain yang diriwayatkan dari Ka’bul Ahbar melalui Aisyah r.a, bahwa Nabi saw bersabda, “Manusia itu kedua matanya adalah penberi petunjuk, kedua telinganya adalah corong, lidahnya adalah juru bahasa, kedua tangannya adalah sayap, kedua kakinya adalah pos, sedangkan rajanya adalah hati. Maka apabila raja itu baik, maka baik pula tentara-tentaranya” (Al-Hadits)
Hati adalah salah satu potensi yang Allah SWT anugerahkan kepada manusia. Setiap manusia pasti memiliki hati nurani. Hanya, kondisi hati setiap manusia mungkin akan berbeda. Tidak semua manusia memiliki hati yang baik dan bersih. Firman Allah:
Artinya: “… Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah). (Yaitu) orang-orang yang apabila disebut nama Allah, gemetarlah hati mereka,…” (QS al-Hajj [22]: 34-35)
Kalau ada satu keberuntungan bagi manusia dibandingkan dengan hewan, maka itu adalah bahwa manusia memiliki kesempatan untuk ma’rifat (kesanggupan mengenal) Allah SWT. Kesanggupan ini dikaruniakan Allah karena manusia memiliki akal dan hati nurani. Inilah karunia Allah yang sangat besar bagi manusia. Hati nurani yang penuh cahaya kebenaran akan membuat pemiliknya merasakan indah dan lezatnya hidup ini karena selalu akan merasakan kedekatan dengan Allah Azza wa Jalla.
Di dalam batin manusia itu ada dua suara, suara was-was (temptation) dan suara hati. Masing-masing dari dua suara itu adalah kecenderungan yang tertekan, karena pada manusia itu ada keinginan baik dan keinginan buruk. Apabila keinginan buruk itu ditekan terdengar suara was-was dan bujukan yang mengajak kearah keburukan, dan bila keinginan baik ditekan terdengar suara hati, menderita karena keburukan dan memanggil berbuat baik. Maka was-was itu adalah suara keburukan yang menguasai kebaikan, dan suara hati itu adalah suara kebaikan yang menguasai keburukan. Menurut Ahmad Amin: “Sebaik-baik orang itu adalah orang yang tinggi idealnya dan kuat perasaan suara hatinya.”
Perasaan itu tumbuh dengan tumbuhnya manusia. Perasan itu menjadi watak pada manusia walaupun pada orang yang tidak terpelajar, sedang pendidikan yang bisa meninggikannya, seperti meningkatnya tiap-tiap kekuatan dan sifat-sifat manusia. Suara hati itu berbeda-beda, perbedaannya agak besar walaupun di dalam bangsa-bangsa yang sudah maju sekalipun. Dalam melakukan kebaikan dan keburukan, perbedaan dalam suara hati selalu mengikuti pada masing-masing diri. Suara hati itu juga tidak selalu benar. Terkadang ia salah dalam menunjukkan kita kepada kebenaran dan kewajiban karena suara hati itu hanya perintah yang mengikuti apa yang diyakini manusia akan kebenarannya. Kalau sekiranya keyakinan itu salah, tentu suara hati itu juga salah. Lebih dalam Ahmad Amin memaparkan:
“Barang siapa selalu mengikuti suara hatinya adalah baik walaupun nanti kelihatannya salah dan perbuatannya meerugikan. Akan tetapi wajib bagi kita menyinari jalan bagi suara hati dengan meluaskan akal, menguatkan fikiran, dan mencari kebenaran. Suara hati itu sebenarnya hanya mengikuti akal, apa yang dilihat oleh akal baik, diperintahkan oleh suara hati. Maka bila kita menguatkan akal kita dan meluaskan pandangan kita dalam memberi hukum kepada sesuatu akan baik dan buruknya, adalah suara hati itu menjadi penunjuk yang baik.”
Ia juga membagi tingkatan suara hati bahwa suara hati itu memiliki tiga tingkatan, yaitu:
a. Perasaan melakukan kewajiban karena takut kepada manusia
b. Perasaan mengharuskan mengikuti apa yang diperintahkan oleh undang-undang, meskipun sendirian atau dimuka orang banyak
c. Perasaan yang memerintahkan oranglain supaya mengikuti apa yang menjadi pendapatnya walaupun karenanya ia menghadapi segala kesusahan. Dia tidak terikat kecuali apa yang dipandangnya benar
Hati nurani adalah pusat atau sentral kesadaran manusia. Kalau hati nurani manusia suci maka pasti pikirannya suci, begitu pula dengan perbuatannya. Tempat berkumpulnya bagi mereka yang hatinya bersih dan tak bernoda dan tempat mengingat Tuhan - itulah Hati Nurani. Sesungguhnya yang mendorong manusia menunaikan kewajiban, melakukan perbuatan, dan melaksanakan pekerjaan mereka dengan baik ialah suara hati yang tertanam dalam watak dan jiwa mereka. Dialah yang merapikan apa yang mereka kerjakan dengan tidak menghendaki pujian dan tidak takut akan siksaan. Karenanya bila suatu bangsa hilang suara hatinya akan hilanglah kebahagiannya, bahkan lenyaplah hidupnya.
4. Akal (Pikiran Sehat)
Akal sebagai organ yang membedakan manusia dengan makhluk lain. Dengan akalnya, manusia yang lemah dapat menundukkan dan mengendalikan segala hal dan memecahkan berbagai masalah. Dengan akalnya pula, manusia di jagad ini menerbitkan kesengsaraan, kerusakan, kebinasaan, kehancuran, dan mengakibatkan masalah dimana-mana. Semua daya upaya, ikhtiar dan usaha manusia, adalah hasil dari akalnya. Maka kian tinggi kecerdasan manusia, kian banyak dan tinggi daya upaya, ikhtiar dan usaha yang dapat dicapai oleh akalnya. Sehingga dengan akalnya, manusia bisa menganalisa, berfikir, dan menyimpulkan pendapatnya.
Akal dalam bahasa Inggris “mind” , sedang dalam bahasa Arab “’aqlu”. Menurut Ahmad Amin, hukum akhlak ialah memberi nilai pada perbuatan bahwa ia baik atau buruk menurut niatnya. Biasanya, manusia itu tidak tercela atas perbuatan yang ia lakukan dengan niat baik meskipun buruk akibatnya, akan tetapi tercela apabila ia sanggup menyelidiki sebelumnya akibat perbuatannya. Disini terletak peranan akal dalam mempertimbangkan buruknya suatu perbuatan yang akan dilakukan. Perbuatan dinilai baik jika menurut pikirannya bahwa perbuatan itu baik dan dinilai buruk atau tercela jika melakukan perbuatan yang diputuskannya buruk.
Tetapi akal manusia itu hanya merupakan salah satu kekuatan yang dimiliki manusia untuk mencari kebaikan dan keburukan. Keputusannya bermula dari pengalaman empiris kemudian diolah menurut kemampuan pengetahuannya. Oleh karena itu, keputusan yang diberikan akal hanya bersifat spekulatif.
Akal tidak bisa dipisahkan dengan hawa. Mereka berhubungan sangat erat. Hawa membawa sesat dan tidak berpedoman, sedangkan akal menjadi pedoman menuju keutamaan. Oleh karena itu, perlu diselidiki dan diawasi manakah perintah hawa dan manakah perintah akal. Penyelidikan ini sangat sulit, berkehendak kepada ilmu hakikat yang dalam. Garis besar yang perlu diperhatikan, ialah bahwa akibat yang dikendaki akal itu ialah akibat mulia dan utama, tetapi jalannya sukar.
Menurut Ghazali, tidak ada yang baik ataupun yang buruk kecuali setelah adanya dalil syariat, begitu pula tidak ada ganjaran ataupun siksaan sebelum adanya keterangan dari syariat. Dan walaupun demikian manusia harus menimbang dengan akalnya terhadap satu kebaikan atau keburukan karena bentuk syariat Islam itu sendiri adalah buat menuju kepada jalan yang lurus. Maka jika seandainya syariat menyatakan bahwa zina itu baik maka perasaanpun akan menetapkan baiknya. Dan jika syariat menetapkan adanya kejelekan zina itu maka perasaan akan menetapkan jeleknya, sehingga memang benarlah jika syariat itu sendiri berjalan sesuai dengan akal, dan factor akal harus bisa mempertimbangkan baik dan buruk dan dapat diperkuat dengan dalil syariat.
Menurut Mudlor Achmad, pusat akal mempunyai berbagai aspek kemampuan, yaitu: kemampuan untuk mengenal sesuatu, mengusahakan sesuatu, dan menerima saran qalbu, maka ia dibagi menjadi tiga:
a. Akal Azizi: Gunanya untuk mengadakan pembedaan antara berbagai macam benda. Mengarah kepada objek bukan rasa (idiil:kejiwaan/immanent)
b. Akal Kasabi: Gunanya untuk melekukan sesatu usaha. Menuju kearah objek rasa (empirie:kenyataan/realiteit)
c. Akal Atori: Merupakan tempat hidayat Ilahi dan bibit iman: “Wa hudan wa mau’idhotan lillmuttaqien”. Menjurus kepada obyek luar rasa (transcendent)
Dalam teologi Islam ada konsep “kebaikan dan keburukan dalam timbangan akal” (husn wa qubh al-aql), artinya akal dapat menetapkan dan menilai berbagai perbuatan dan tindakan, serta menghukumi baik dan buruknya atau benar dan salahnya. Akal menetapkan perbuatan baik Seperti keadilan, kejujuran, balas budi, menolong orang-orang yang dalam kesulitan dan kemiskinan, dan juga menilai perbuatan buruk seperti kezaliman, menganiaya dan merampas hak dan milik orang lain. Dalam konteks ini, akal dengan tanpa bantuan wahyu dapat menunjukkan kepada manusia mana keadilan dan kezaliman, kejujuran dan kebohongan.
5. Lingkungan dan Adat-Istiadat
Lingkungan artinya suatu yang melingkungi tubuh yang hidup. Lingkungan tumbuh-tumbuhan ialah tanah dan udaranya, lingkungan manusia ialah apa yang melingkunginya dari negeri, lautan, sungai, udara dan bangsa. Salah seorang ahli pena berkata: “Ahli sejarah sejak masa dahulu telah menerangkan bahwa tempat-tempat dan keadaan dalam suatu negeri mempunyai pengaruh yang besar dalam kemajuan bangsa.”
Lingkungan ini besar pengaruhnya bagi kehidupan manusia, kepribadiannya, mental, dan akhlaknya. Seseorang yang hidup dalam lingkungan yang baik, secara langsung atau tidak langsung, maka tempat, situasi dengan keadaan lingkungan tersebut akan memberikan pengaruh yang baik kepada setiap orang yang ada dalam lingkungannya, dan sebaliknya orang yang hidup dalam suatu lingkaran yang buruk dan dalam lingkungan yang terdapat kemaksiatan, bagaimanapun keadaan masyarakat lingkungannya akan mempengaruhi terhadap penduduk yang ada didalamnya. Dia juga akan terbawa buruk walaupun dia sendiri umpamanya tidak melakukan keburukan. Hal demikian biasanya lambat laun akan mempengaruhi cara hidup orang tersebut.
Karena itu pula Islam mengajarkan agar memilih tempat tinggal yang baik untuk tempat tinggal berumah tangga. Sebelum bertempat tinggal, supaya meneliti apakah lingkungannya cocok untuk berumah tangga atau tidak. Jangan sampai bertempat tinggal di dalam lingkungan yang akan membawa pengaruh buruk bagi kita dan anak-anak kita.
Rasulullah bersabda:
Artinya: (Carilah) tetangga sebelum berumah tangga, dan (Carilah) teman sebelum berpegian dan (Carilah) bekal seperjalanan.
Disamping lingkungan tetangga, lingkungan personalia orang-orangnya, maka lingkungan situasi dalam arti yang seluas-luasnya akan memberikan bekasan pengaruh pada orang yang tinggaldi dalam lingkungan itu; baik lingkungan alamiah, lingkungan iklimnya, lingkungan intelektualnya, lingkungan keagamaannya, lingkungan ekonominya, semua keadaan situasi aspek-aspek kehidupan manusia dan alamnya, akan memberikan pengaruh bagi kehidupan orang yang ada di dalam lingkungannya tersebut.
Suatu perbuatan bila diulang-ulang sehingga menjadi mudah dikerjakan disebut “Adat Kebiasan”. Kebanyakan pekerjaan manusia jelmaan dari arah adat kebiasaan, seperti berjalan, berlari, cara berpakaian, berbicara, dan lain sebagainya. Segala perbuatan, baik atau buruk, menjadi adat kebiasaan karena dua factor: “Kesukaan hati kepada suatu pekerjaan dan menerima kesukaan itu dengan melahirkan suatu perbuatan, dan dengan diulang-ulang secukupnya”.
Kalau kebiasan telah terbentuk, ia mempunyai ketentuan sifat, diantaranya:
a. Memudahkan perbuatan yang dibiasakan
b. Menghemat waktu dan perhatian
James berpandapat tentang adat kebiasaan, yakni:
“Yang memudahkan bagi buruh logam bekerja dalam tambang yang gelap, bagi penyelam dalam pekerjaan mereka didalam lautan yang bergelombang besar, bagi pelaut dalam menghadapi angin taufan yang kencang dan petani dalam sawah-sawahnya menderita panas terik dan dingin yang menyakiti…”
Untuk merubah adat-kebiasan yang buruk harus memperhatikan hal-hal berikut:
a. Berniatlah dengan sungguh-sungguh tanpa ada keraguan. Jangan lihat lagi kebelakang dengan melihat kebiasan-kebiasan lama. Azamkan dengan kuat pada niat yang baru.
b. Jangan berhenti hingga hasil dari kebiasan baru bisa terlihat dan dihasilkan.
c. Carilah waktu yang baik untuk melaksanakan niatmu, dan ikutilah segala gerak jiwa yang menolong untuk mewujudkan pelaksanaan tersebut, karena kesukaran itu bukan dalam niat tetapi di dalam pelaksanaannya.
d. Kuatkan dan peliharalah keimanan agar selalu hidup dalam jiwa, yakni dengan membiasakan melakukan hal-hal kecil yang baik yang selalu berkelanjutan, untuk mengekang hawa nafsu.
Dalam segala tempat dan waktu, manusia itu terpengaruh oleh adat-istiadat golongan dan bangsanya karena hidup di dalam lingkungan mereka. Mereka melihat dan mengetahui bahwa mereka melakukan sesuatu perbuatan dan menjahui perbuatan lainnya, sedang kekuatan memberi hukum kepada sesuatu belum tumbuh begitu rupa, sehingga mereka mengikuti kebanyakan perbuatan yang mereka lakukan atau mereka singkiri.
Perintah-perintah adat-istiadat dilakukan dan larangan-larangan disingkiri karena beberapa jalan:
a. Pendapat umum, karena memuji pengikut-pengikut adat-istiadat dan mengejek orang-orang yang menyalahinya.
b. Keyakinan yang diturunkan turun-temurun dari hikayat-hikayat dan khufarat-khufarat yang menganggap bahwa syetan dan jin akan membalas dendam kepada orang-orang yang menyalahi perintah-perintah adat-istiadat dan malaikat akan memberi pahala bagi yang mengikutinya.
c. Beberapa upacara, keramaian, pertemuan dan sebagainya yang menggerakkan perasaan dan yang mendorong bagi para hadhirin untuk mengikuti maksud dan tujuan upacara itu, seperti mengikuti adapt-istiadat kematian, pengantin, ziarah kubur, dan upacara lain-lainnya.
Tiap suku atau bangsa mempunyai adat-istiadat tertentu yang diwariskan dari nenek moyangya. Dipandang baik bagi orang yang mengikutinya dan dipandang buruk bagi siapa yang melanggarnya. Oleh karena itu, suatu perbuatan dapat dikatakan baik bila ia sesuai dengan adat-istiadat yang ada di masyarakat dan dikatakan buruk bila ia menyalahinya. Jika diselidiki secara seksama adat-istiadat itu tidak dapat sepenuhnya digunakan sebagai ukuran untuk menetapkan buruk-baiknya perbuatan manusia, karena ada perintah atau larangan yang berdasarkan adat kebiasaan tidak dapat diterima oleh akal yang sehat.
Adat-istiadat itu tidak dapat dipergunakan sebagai ukuran dan pertimbangan, karena sebagian dari perintah-perintahnya tidak masuk akal dan setengahnya merugikan. Dan banyak perbuatan-perbuatan yang terang salahnya bagi kita, tetapi lain bangsa menyatakan kebaikannya; seperti menanam anak perempuannya hidup-hidup yang dilakukan oleh sebagian suku bangsa Arab pada zaman Jahiliyah. Mereka menganggap perbuatan itu tidak tercela dan tidak salah. Setelah datang agama Islam, maka ia mencegah mereka dari adat- istiadat itu dan menjelaskan akan kesalahannya.
Pada masa sekarang, kita tidak dapat membenarkan adat-istiadat semacam itu dan bahkan mengingkarinya. Dan bili adat-istiadat itu banyak salahnya, maka tidak tepat dijadikan ukuran baik dan buruk bagi perbuatan-perbuatan kita.
Sikap dan prilaku manusia yang menjadi akhlak sangat erat sekali dengan kebiasaannya. Seperti halnya pengertian akhlak yang dikemukakan oleh prof. Dr. Ahmad Amin bahwa akhlak itu adalah membiasakan kehendak. Banyak sebab-sebab yang menjadikan adat kebiasaan, contohnya karena lingkungan tempat dia bergaul yang membawa dan memberi pengaruh yang kuat dalam kehidupannya sehari-hari, dsb. Ada dua faktor penting yang melahirkan adat kebiasaan itu:
a. Karena adanya kecenderungan hati pada perbuatan itu, dia merasa senang untuk melakukannya karena dia tertarik oleh sikap dan perbuatan tersebut.
b. Diperturutkannya kecenderungan hati itu dengan praktek yang diulang-ulang, sehingga menjadi biasa.
Diantara kedua factor tersebut, yang kedualah yang sangat menentukan. Sebab walaupun ada kecenderungan hati untuk melakukannya, tapi apabila tidak ada kesempatan untuk melakukannya maka kecenderungan hati itu tidak akan diturutkan. Sebaliknya mungkin asalnya tidak ada kecendeerungan hati untuk melakukannya, tetapi selalu dihadapkan agar melakukannya, awalnya mungkin terpaksa tapi lama-lama jadi terbiasa dan kebiasaan itu akan memberikan pengaruh kepada perasan hatinya karena terbiasa.
Apabila adat kebiasaan telah lahir pada seseorang atau masyarakat, maka ia mempunyai sifat-sifat antara lain:
a. Mudah mengerjakan pekerjaan yang sudah diadatkan itu.
b. Kurang atau tidak memakan waktu dan perhatian dari waktu sebelum diadatkannya
Cara merubah adat kebiasaan, menurut para ahli Ethika yakni dengan:
a. Harus ada niat yang teguh dan kemauan yang keras untuk mengganti adat yang lama dengan adat yang baru
b. Harus ada keyakinan akan kebaikan adapt yang baru
c. Daya penolak yang ada terhadap adat yang lama dan daya penarik/pendorong terhadap adat yang baru harus selalu dihidup-hidupkan
d. Harus selalu mempergunakan kesempatan yang baik untuk melaksanakan adat yang baru itu
e. Harus berusaha janga sekali-kali menyalahi adat yang baru
6. Pendidikan
Akhlakul karimah, tingkah laku yang mulia atau perbuatan baik adalah cerminan dari iman yang benar dan sempurna. Dengan istilah lain, yang menjadi dasar utama dari perbuatan baik itu adalah iman yang benar dan sempurna. Untuk menciptakan iman dapat dicapai dengan memperbanyak amal saleh dan tingkah laku yang mulia. Ini dapat dilakukan dengan baik, jika ia melatih diri berbuat baik dan mulia. Oleh karena itu, factor pendidikan dan latihan menjadi hal terpenting dalam ilmu akhlak.
Pendikan dalam bahasa Inggris “Education” , sedangkan dalam bahasa Arab “Tarbiyah”. Definisi pendidikan menurut para ahli, diantaranya adalah:
Menurut Juhn Dewey, pendidikan adalah suatu proses pembaharuan makna pengalaman, hal ini mungkin akan terjadi di dalam pergaulan biasa atau pergaulan orang dewasa dengan orang muda, mungkin pula terjadi secara sengaja dan dilembagakan untuk untuk menghasilkan kesinambungan social. Proses ini melibatkan pengawasan dan perkembangan dari orang yang belum dewasa dan kelompok dimana dia hidup. Menurut H. Horne, pendidikan adalah proses yang terus menerus (abadi) dari penyesuaian yang lebih tinggi bagi makhluk manusia yang telah berkembang secara fisik dan mental, yang bebas dan sadar kepada vtuhan, seperti termanifestasi dalam alam sekitar intelektual, emosional dan kemanusiaan dari manusia. Menurut Frederick J. Mc Donald, pendidkan adalah suatu proses atau kegiatan yang diarahkan untuk merubah tabiat.
Pendidikan pasti memiliki tujuan, ditegaskan oleh Dr. Fritz Kunkel dalam bukunya:
“Segala yang dirasakan, dipikirkan atau dikehendaki manusia, pendeknya segala yang bergolak dalam batinnya, adalah tertuju sebagai cita-cita suatu kesatuan terhadap suatu maksud tertentu. Siapa yang mengetahui tujuan itu, dia mengetahui manusianya, dan barangsiapa mengubah tujuannya, mengubah manusianya.”
Menurut Socrates, salah satu tujuan pendidikan adalah kebaikan sifat dan ‘budi’, yaitu kasih sayang dan kerelaan. Sedangkan menurut Islam, pendidikan bertujuan kearah pembentukan pribadi yang benar-benar lengkap sempurna (terwujudnya manusia sebagai hamba Allah), mencakup segala aspek kehidupan di dunia dan di akhirat nanti.. Jadi menurut Islam, pendidikan haruslah menjadikan seluruh manusia yang menghambakan kepada Allah. Yang dimaksud menghambakan diri ialah beribadah kepada Allah. Baik Qur’an maupun sunnah, mengemukakan bahwa pendidikan harus dimulai sejak masa-masa kanak-kanak, karena pada waktu itu anak sangat peka terhadap perangsang luar. Masih banyak pendapat ahli lainnya yang mengutaran tujuan pendidikan berdasarkan pemikiran mereka masing-masing.
Menurut hemat penulis, tujuan pendidikan adalah mendapatkan ilmu pengetahuan untuk membentuk suatu akhlak dan etika berdasarkan pengetahuan tersebut sehingga bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah, dan mana yang baik dan mana yang buruk.
Diantara para ahli mengatakan bahwa akhlak itu ialah instinct (Garizah) yang dibawa manusia sejak lahir dan ada pula yang mengatakan bahwa akhlak itu ialah hasil dari pendidikan dan latihan serta perjuangan. Akhlak yang baik itu tidak dapat dibentuk hanya dengan pelajaran, dengan instruksi dan larangan, sebab tabi’at jiwa untuk menerima keutamaan itu tidak cukup seorang guru mengatakan kerjakan ini dan jangan kerjakan itu. Menanamkan sopan santun memerlukan pendidikan yang panjang dan harus ada pendekatan yang lestari. Pendidikan itu tidak akan sukses, melainkan harus diusahakan dengan cintoh/teladan yang baik dan nyata.
Rasulullah SAW, adalah contoh/teladan yang baik di kalangan para sahabatnya, beliau menanamkan perangai yang mulia dengan prilaku yang mulia pula, di samping beliau menanamkan dengan memberikan nasehat dan pelajaran. Allah berfirman:
Artinya: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyabut Allah (QS. Al-Ahzab, 33:21)
WACANA KEILMUWAN:
SUMBER-SUMBER PEMBENTUKAN ETIKA: UKURAN BAIK DAN BURUK
Makalah ini disampaikan pada Pengantar Perkuliahan
“AKHLAK TASAWUF”
Senin, 27 April 2009
Oleh:
Ari Satria
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS KELAS VI D FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SULTAN SYARIF KASIM RIAU
2006
DAFTAR PUSTAKA
Achmad, Mudlor, Etika Dalam Islam, Surabaya: Al-Ikhlas, 1993
Alkali, Asad M., Kamus Indonesia-Arab, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1991
Amin, Ahmad, Etika Ilmu Akhlak, Jakarta: Bulan Bintang, 1975
Asmaran As, Pengantar Study Akhlak, Jakarta: Rajawali Pers, 1992
Djatnika, Rachmat, Sistem Ethika Islami (Aklak Mulia), Jakarta: Pustaka Panjimas, 1996
Echols, John M. dan Hasan Shadily, An Indonesian-English Dictionary, Jakarta: PT Gramedia Utama:2001
Gymnastiar, Abdullah, Maintain The Heart: The Step by Step of Qolbu Management, Bandung: MQ Publishing, 2005
Gymnastiar, Abdullah, Menggapai Qalbun Saliim: Bengkel Hati Menuju Akhlak Mulia, Bandung: Khas MQ, 2005
Gymnastiar, Abdullah, Aa Gym Apa Adanya, Bandung: MQ Publishing, 2003
Nata, Abuddin, Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003
Permadi, Pengantar Ilmu Tasawwuf, Jakarta: Rinika Cipta, 1997
Referensi online: http://doelmith.wordprass.com/2009/03/01/mata-kuliah-akhlak-tasauf/, 24 April, 2009
……..., http://jendel.blogspot.com/2008/05/insting.html, 22 April, 2009
……...,http://kuliahpai.blogspot.com/2009/02/akhlak-etika-dan-moral.html, 22 April, 2009
……....http://azmuharam.blogspot.com/2009/03/baik-dan-buruk-kebebasan-tanggung-jawab.html, 22 April, 2009.
………http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi-tugas-makalah/etika/etika-dan-moral, 24 April, 2009
………http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=4512, 25 April, 2009
............tafany.wordpress.com/2009/04/01/etika-moral-akhlak/ - 73k –, 25 April, 2009
………abrahamzakky.blogspot.com/2009/02/problematika-penentuan-baik-dan-buruk.html - 96k –, 23 April, 2009.
………dimasputra16.wordpress.com/2008/05/26/definisi-pendidikan/ - 13k, 24 April, 2009
………Posted March 16th, 2009 by mujahid_fillah, one.indoskripsi.com/click/8884/0 - 39k, 25 April, 2009
………BERITA - hidayatulhaq.wordpress.com – BAB, 22 April, 2009
………pendidikan.infogue.com/tujuan_pendidikan_islam - 45k, 22 April, 2009
Sya’rawi, Mutawali, Baik dan Buruk, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1994
Tan, Albert, Study Indonesian Dictionary, South Melbourne, Australia: Oxford University Press, 1973
Umary, Barmawie, Materia Akhlak, Solo: Ramadhani, 1995
JOURNAL
Selasa, 12 Mei 2009
UKURAN BAIK DAN BURUK
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
salam kenal, seneng bisa berbagi. (azmuharam.blogspot.com)
BalasHapusmoga kedepan bisa saling bantu bisa saling diskusi O.K,,,,