Potongan masa lalu itu masih berdiri tegap; Candi Muara Takus. Bangunan
ini melambangkan keagungan kebudayaan, prilaku, peradaban bahkan
kecanggihan tekhnologi manusia di masa itu. Termasuk rentetan panjang
perjalanan Kerajaan Sriwijaya.
Laporan KUNNI MASROHANTI, Kampar
CANDI
Muara Takus merupakan cagar budaya nasional Indonesia. Terletak di Desa
Muara Takus, Kecamatan Tigabelas Koto Kampar, Kabupaten Kampar. Tempat
ini menjadi salah satu objek wisata terkenal di Riau, bahkan Indonesia.
Pengunjung bukan hanya ingin melihat dari dekat peninggalan sejarah masa
lalu itu, tapi banyak juga yang menggelar iven bersama rekan kerja
ataupun keluarga.
Candi ini terletak sekitar 128 kilo meter dari
Pekanbaru, arah ke Sumatera Barat (Sumbar). Hamparan Danau PLTA Koto
panjang yang membentang di sisi kanan kiri jembatan baja, memanjakan
mata memandang sebelum memasuki jalan kecil arah ke kanan menuju Candi
Muara Takus. Setelah melewati Desa Tanjung Alai, Gulamo, Batu Bersurat
dan Koto Tuo, candi itupun terlihat. Jalan yang ditempuh, beraspal
mulus. Hanya beberapa bagian saja yang rusak.
Candi dengan stupa
berwarna kuning, terlihat jelas. Ada yang tinggi, ada yang rendah. Ada
bangunan rata yang tidak berstupa lagi. Bangunan-bangunan ini berada di
atas lahan sekitar 74x74 meter. Pagar besi mengelilingi bangunan ini.
Candi
Muara Takus merupakan candi Buddha. Ini terlihat dari adanya stupa yang
merupakan lambang Buddha Gautama. Ada pendapat yang mengatakan bahwa
candi ini merupakan campuran dari bentuk candi Buddha dan Syiwa.
Bangunan yang utama adalah yang disebut Candi Tua. Candi ini berukuran
32,80 m x 21,80 m dan merupakan candi bangunan terbesar di antara
bangunan yang ada. Letaknya di sebelah Utara Candi Bungsu. Di sebelah
Timur dan Barat terdapat tangga yang menurut perkiraan aslinya dihiasi
stupa.
Bangunan kedua dinamakan Candi Mahligai. Bangunan ini
berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 10,44 m x 10,60 m. Tingginya
sampai ke puncak 14,30 meter. Bangunan ketiga disebut Candi Palangka,
yang terletak 3,85 m sebelah Timur Candi Mahligai. Bangunan ini terdiri
dari batu bata merah yang tidak dicetak. Candi Palangka merupakan candi
terkecil. Relung-relung batu yang tersusun tidak sama dengan dinding
Candi Mahligai. Dulu, sebelum dipugar, bagian kakinya terbenam sekitar
satu meter.
Bangunan keempat dinamakan Candi Bungsu. Candi
Bungsu terletak di sebelah Barat Candi Mahligai. Bangunannya terbuat
dari dua jenis batu, yaitu batu pasir. Selain bangunan-bangunan ini, di
sebelah Utara atau tepat di depan gerbang Candi Tua terdapat onggokan
tanah yang mempunyai dua lubang. Tempat ini diperkirakan tempat
pembakaran jenazah. Lubang yang satu untuk memasukkan jenazah dan yang
satunya lagi untuk mengeluarkan abunya. Tempat pembakaran jenazah ini
termasuk dalam pemeliharaan karena berada dalam komplek percandian. Di
dalam onggokan tanah tersebut terdapat batu-batu kerikil yang berasal
dari Sungai Kampar.
Candi ini sudah pernah dipugar. Batu-bata
pada candi bagian atas, merupakan batu-bata masa kini. Tapi, di bagian
bawahnya masih asli. Bentuknya seperti tanah, lembut dan meresap air. Di
antara batu-batu itu juga ada drainase peninggalan masa silam. Di
bagian paling belakang candi ini juga terdapat sumur yang digunakan
untuk penelitian.
Di luar pagar bangunan ini terdapat halaman
yang luas. Di sini ada pondok-pondok tempat masyarakat berjualan. Di
sinilah pengunjung biasanya beristirahat dan sering melakukan berbagai
kegiatan. Bisa berbentuk perlombaan, permainan atau hanya sekedar
berdiskusi dengan menggelar tikar dan makan bersama. Fasilitas seperti
kamar mandi dan musala, juga tersedia di sini.
Kawasan asli candi
ini sebetulnya cukup luas, yakni mencapai 4 kilometer persegi. Bahkan
sampai di pinggiran Danau PLTA yang terletak tidak jauh dari candi. Sisi
danau di kawasan ini juga menjadi lokasi berkunjung bagi wisatawan.
Pohon-pohon di sekitarnya yang teduh dan semilir angin di pinggiran
danau, membuat pengunjung betah berlama-lama di sini. Paling tidak,
mereka menghabiskan sebagian waktu untuk berfoto-foto di sini.
Danau
ini dibangun tahun 1992. Waktu itu, Tokyo Elektric Power Limited
melakukan proyek Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di
Desa Koto Panjang, Kecamatan Tigabelas Koto Kampar. Program kerjasama
antara pemerintah Indonesia dan Jepang itu berupa pembuatan bendungan.
Awalnya, air Sungai Kampar Kanan akan dinaikkan hingga 100 meter
sehingga bisa menghasilkan 140 megawatt. Hal ini sempat diributkan
banyak kalangan. Air setinggi itu dipastikan menenggelamkan gugusan
candi, maka diturunkan lagi menjadi 85 meter.
Gugusan Candi Muara
Takus memang terselamatkan, tetapi penggalan kisahnya kini juga berada
di bawah permukaan air danau. Secuil kisah itu ada di Desa Pongkai, desa
dimana tanah liat bahan candi diambil. Bekas-bekas lubang galian tanah
di desa yang berjarak sekitar 8 kilo meter di sebelah hilir kompleks
Candi Muara Takus ini musnah tenggelam. ‘’Ada delapan desa yang
tenggelam, tapi semua sudah dipindahkan. Di sini dulu kawasan pasar,’’
kata Datok Ramli bergelar Rajo Datok Tigo Balai.
Di sisi lain,
juga tidak jauh dari candi, terdapat bangunan kecil yang terbuat dari
batu-bata yang sama yang digunakan untuk membuat candi. Sudah pasti
bangunan ini merupakan bagian dari bangunan candi. Sekitar 20 meter ke
arah pinggir sungai, terdapat dermaga. Tidak jauh dari dermaga ini
terdapat sumur larangan. Sumur yang juga menjadi bagian dari bangunan
candi.
Karena air danau yang tinggi, sumur ini sempat hilang.
Warga tempatan kemudian mencarinya dan kembali menemukan sumur itu.
Tidak ingin kehilangan lagi, warga kemudian mengubah bentuk sumur ini
menjadi sumur cincin. Sumur inipun tidak terlihat jelas, padahal, banyak
kisah dan sejarah di dalamnya.
Mengapa kawasan candi ini
diyakini masyarakat setempat seluas 4 kilo meter, karena kawasan ini
memang dipagar dengan tanggul kuno. Tanggul ini dibuat keliling. Sisa
tanggul kuno itu masih terlihat. Tidak jauh dari dermaga. Cukup dengan
berjalan kaki saja. Di kawasan sisa tanggul kuno inilah dulu yang
menjadi tempat pembuatan dan pembakaran batu-bata untuk membuat candi
itu. Tapi kawasan ini juga sudah tenggelam oleh Danau PLTA.
Wisatawan
yang datang tidak akan ditemani guide. Tapi, candi ini tetap ada
penjaga dan juru peliharanya (jupel). Salah satunya Zaidil. Ia diangkat
sebagai pegawai honor melalui Surat Keputusan (SK) Kementerian
Kebudayaan dan Pariwisata Dirjen Sejarah Purbakala Batu Sangkar wilayah
kerja Provinsi Sumbar, Riau dan Kepri ketika yang kini sudah berubah
menjadi Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB). Zaidil bekerja sama
dengan delapan Jupel lainnya; empat dari BPCB dan lima lainnya dari
Dinas Pariwisata Kabupaten Kampar.
Sumber
Riau Pos
JOURNAL
Kamis, 30 Januari 2014
Menjelajahi Sejarah Candi Muara Takus Kampar Riau
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Thank You